Senin, 25 Januari 2016

IBADAH PUASA DAN PENGEMBANGAN BUDI PEKERTI (Pendekatan Sufistik)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan adalah dasar utama bagi manusia untuk bersikap atau berperilaku baik dalam kehidupan. Setiap keyakinan agama yang dianut oleh manusia mengajarkan penganutnya untuk berbudi pekerti baik dan berakhlaq mulia. Salah satunya islam itu sendiri yang mengajarkan umat manusia untuk selalu bersikap baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Dalam berbudi pekerti baik akan melahirkan sikap moral yang baik pula dan berbudi luhur. Dengan cara menempuh pendidikan formal maupun in formal. Dunia pendidikan mengajarkan setiap manusia untuk bersikap luhur, tidak terkecuali mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Islam juga mengajarkan dalam kitab sucinya serta dalam hadis nabi yang menjadi dasar pondasi umat muslim untuk berperilaku baik.
Melihat perkembangan jaman saat ini dan pengaruh teknologi sangat kuat dalam masyarakat yang mengharuskan mereka untuk bersikap liberal dan tanpa batas. Bahkan sopan santun dan tutur kata serta tingkah laku sangat menyimpang dan berbeda jauh dengan jaman sebelumnya. Sekarang manusia lebih bersikap seenaknya dan mengikuti sikap tingkah laku bangsa barat, sama sekali mengesampingkan ajaran agama yakni berbudi luhur. Fenomena saat ini, tidak semua orang bersikap dingin dan tidak menghiraukan orang lain. Melihat fenomena tersebut bisa dikatakan 10 banding 4 dalam kehidupan sebenarnya. Hal ini sangat memprihatinkan bagi kehidupan selanjutnya dan generasi yang akan datang. Bersikap arogan dan menyimpang dari ajaran agama akan menguasai dunia dan mereka yang lemah dengan sikap budi luhurnya akan menjadi kaum minoritas dan mendapatkan diskriminasi dari lawannya.
Hal ini sudah diperlihatkan dengan sangat jelas dalam masyarakat terutama di negara Indonesia sendiri. Korupsi yang merajarela, perkelahian antar anak sekolah, adanya perkumpulan pengendara motor dan lain sebagainya. Contoh tersebut sungguh sangat disayangkan apabila akan terus berkelanjutan dimasa yang akan datang. Maka dari itu penguatan akhlaq ataupun aqidah dalam dunia pendidikan formal maupun informal seharusnya menjadi pusat perhatian yang utama. Dalam makalah ini akan menjelaskan tentang ibadah puasa dan budi pekerti baik dalam pendekatan sufistik, berikut pembahasannya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini menitiberatkan dalam masalah sebagai berikut:
  1. Apa yang dimaksud dengan ibadah puasa?
  2. Apa yang dimaksud dengan budi pekerti baik?
  3. Bagaimana pendekatan sufistik berkaitan dengan ibadah puasa dan budi pekerti baik?

C.     Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, sebagai berikut:
  1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan ibadah puasa.
  2. Mengetahui apa budi pekerti baik.
  3. Mengetahui pendekatann secara sufistik tentang ibadah puasa dan budi pekerti baik.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ibadah Puasa
Ibadah puasa adalah termasuk dalam rukun Islam. Dalam terminologi Islam, melaksanakan puasa ditinjau dari aspek akidah menunjukkan keimanan yang kuat, dari segi ibadah melaksanakan puasa merupakan bentuk ketaatan kepada  Allah, mencari ridha-Nya. Dipandang dari sudut akhlak puasa menghaluskan budi pekerti, menanamkan disiplin waktu, kejujuran, kesabaran, dsb.
Puasa adalah tindakan sukarela dengan berpantang dari makanan, minuman, atau keduanya, perbuatan buruk dan dari segala hal yang membatalkan puasa untuk periode waktu tertentu. Puasa mutlak biasanya didefinisikan sebagai berpantang dari semua makanan dan cairan untuk periode tertentu, biasanya selama satu hari (24 jam), atau beberapa hari. Puasa lain mungkin hanya membatasi sebagian, membatasi makanan tertentu atau zat. Praktik puasa dapat menghalangi aktivitas seksual dan lainnya serta makanan.
Puasa menurut bahasa arab adalah menahan dari segala sesuatu, misalnya menahan makan, minum, nafsu dan berbicara yang tidak ada manfaatnya.[1] Menurut istilah puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Puasa tidak hanya dilakukan oleh umat muslim saja, bahkan umat non muslim juga melakukan puasa terutama untuk menghormati saat puasa wajib di bulan ramadhan. Hanya saja upaya yang dilakukannya tidak mendapat pahala dan hanya sia-sia saja.
Adapun puasa terdiri dari bebrapa macam jenis yakni, puasa wajib, puasa sunah, dan puasa haram. Puasa wajib yang sudah terdapat dalam surat al baqarah ayat 183 yang menjadi dasar umat muslim untuk menjalankan ibadah tersebut. Puasa sunah yakni puasa yang sering kita kenal dengan puasa senin kamis misalnya. Puasa haram yakni puasa yang tidak boleh dilakukan karena hari tersebut merupakan hari yang sangat mulia, misalnya puasa di hari raya islam.
Puasa tidak begitu saja bisa dilakukan oleh setiap umat muslim, melainkan semua ada syarat-syarat tertentu sebagai berikut.[2]
Syarat-syarat Wajib Puasa:
1.      Berakal sehat.
2.      Balig (usia 15 tahun keatas).
3.      Kuat puasa (anak dibahwah umur dan orang tua mendapat keringanan).
Syarat Sah Puasa:
1.      Islam.
2.      Mumayiz.
3.      Suci dari haid
4.      Waktu yang diperbolehkan puasa.
Rukun Puasa:
1.      Niat pada malam harinya.
2.      Menahan diri dari segala yang membatalkan sampai tenggelamnya matahari.
Hal Membatalkan Puasa:
1.      Makan dan minum secara sengaja.
2.      Muntah yang disengaja.
3.      Bersetubuh.
4.      Keluar darah haid.
5.      Gila.
6.      Keluar mani dengan sengaja.
Puasa memberikan pengajaran bagi kita untuk bersikap sabar dan menahan dari segala hal yang memicu nafsu manusia. Dalam hal ini puasa mencoba mendidik manusia untuk bersikap lebih baik dan jauh dari godaan nafsu syetan. Bisa dikatakan puasa mencoba mendidik manusia untuk berbudi pekerti yang baik. Apabila seseorang tidak dapat menjaga diri dari nafsu amarahnya maka puasa yang dilakukan akan sia-sia. Pandangan atau pendekatan sufi tentang puasa adalah ‘takwa’ sebagai terminal akhir dari ibadah puasa. Bukan hanya sebatas menjalankan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya secara lahir, tapi lebih dari itu, para sufi memaknai ‘takwa’ sebagai simbol penghambaan diri kepada Tuhan secara utuh, murni dan maksimal. Takwa sejati dalam dunia sufistik tercapai di saat hati telah mampu terlepas dari tambatan dunia dan jiwa merdeka dari kungkungan cita-cita duniawi semata.[3]
Berangkat dari paradigma di atas, puasa bagi para sufi tidak lagi dimaknai sebagai pergulatan menahan jiwa dari keinginan-keinginan untuk memuaskan hasrat perut dan birahi saja, karena mereka telah lepas dari itu. Perjuangan jiwa dalam menjauhi segala dosa-dosa lahir dan dosa-dosa batin merupakan upaya yang harus dilakukan para sufi untuk mencapai tahap tersebut.
Puasa yang dikerjakan juga meliputi pengendalian penglihatan dari segala pandangan yang mengarah pada kejelekan dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat seperti, berkata dusta, mefitnah, bicara tidak senonoh dan tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya, orang-orang yang berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan apabila mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat kepada Allah semata akan lebih mudah.[4]
Puasa semacam ini memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah (Syariah) tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini. Dimana aturannya selama berpuasa orang tidak boleh mendengar perkatan yang terlarang yang berasal dari orang lain, dengan cara berusaha menjauhi pertemuan dengan orang yang susah melanggar larangan tersebut. Sedang pada sisi fisik sewaktu berbuka, hanya boleh makan dan minum sedikit mungkin hanya sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga.[5]
Manusia yang benar-benar bisa melakukan puasa ini hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketaqwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.

B.     Pengembangan Budi Pekerti
Secara umum Budi Pekerti berarti moral dan kelakuan yang baik dalam menjalani kehidupan ini. Budi Pekerti adalah tuntunan moral yang paling penting untuk orang Jawa tradisional. Budi Pekerti adalah induk dari segala etika ,tatakrama, tata susila, perilaku baik dalam pergaulan, pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Pertama-tama budi pekerti ditanamkan oleh orang tua dan keluarga dirumah, kemudian disekolah dan tentu saja oleh masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.[6]
Pada saat ini dimana  sendi-sendi kehidupan banyak yang goyah karena terjadinya erosi moral,budi pekerti masih relevan dan perlu direvitalisasi. Budi Pekerti yang mempunyai arti yang sangat jelas dan sederhana, yaitu: Perbuatan (Pekerti) yang dilandasi atau dilahirkan oleh Pikiran yang jernih dan baik (Budi).
Dengan definisi yang teramat gamblang dan sederhana dan tidak muluk-muluk,  kita semua dalam menjalani kehidupan ini semestinya dengan mudah dan arif dapat menerima tuntunan budi pekerti. Budi pekerti untuk melakukan hal-hal yang patut, baik dan benar. Kalau kita berbudi pekerti, maka jalan kehidupan kita paling tidak tentu selamat, sehingga kita bisa berkiprah menuju ke kesuksesan hidup, kerukunan antar sesama dan berada dalam koridor perilaku yang baik. Sebaliknya, kalau kita melanggar prinsip-prinsip budi pekerti, maka kita akan mengalami hal-hal yang tidak nyaman, dari yang sifatnya ringan, seperti tidak disenangi atau dihormati orang lain, sampai yang berat seperti: melakukan pelanggaran hukum sehingga bisa dipidana.
Budi pekerti pada kamus bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran[7]. Pekerti berarti kelakuan. Secara terminologi, kata budi ialah yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut dengan nama karakter. Sedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior. Jadi dari kedua kata tersebut budipekerti dapat diartikan sebagai perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.
Penerapan budi pekerti tergantung kepada pelaksanaanya. Budi pekerti dapat bersifat positif maupun negatif. Budi pekerti itu sendiri selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Budi pekerti didorong oleh kekuatan yang terdapat di dalam hati yaitu rasio. Rasio mempunyai tabiat kecenderungan kepada ingin tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal dan sebaliknya tidak mau menerima yang analogis, yang tidak masuk akal. Selain unsur rasio di dalam hati manusia juga terdapat unsur lainnya yaitu unsur rasa. Perasaan manusia dibentuk oleh adanya suatu pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan suasana lingkungan.
 Rasa mempunyai kecenderungan kepada keindahan.  Letak keindahan adalah pada keharmonisan susunan sesuatu, harmonis antara unsur jasmani dengan rohani, harmonis antara cipta, rasa dan karsa, harmonis antara individu dengan masyarakat, harmonis susunan keluarga, harmonis hubungan antara keluarga. Keharmonisan akan menimbulkan rasa nyaman dalam kalbu dan tentram dalam hati. Perasaan hati itu sering disebut dengan nama “hati kecil” atau dengan nama lain yaitu “suara kata hati”, lebih umum lagi disebuut dengan nama hati nurani. Suara hati selalu mendorong untuk berbuat baik yang bersifat keutamaan serta memperingatkan perbuatan yang buruk dan brusaha mencegah perbuatan yang bersifat buruk dan hina. Setiap orang mempunyai suara hati, walaupun suara hati tersebut kadang-kadang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan keyakinan, perbedaan pengalaman, perbedaan lingkungan, perbedaan pendidikan dan sebagainya. Namun mempunyai kesamaan, yaitu keinginan mencapai kebahagiaan dan keutamaan kebaikan yang tertinggi sebagai tujuan hidup.
Adakah persamaan antara etika, moral dengan akhlak? Pengertian etika, moral, dan akhlak terkesan sama, apalagi kalau ketiga istilah itu disandarkan pada Islam. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dijelaskan, bahwa kata “etika” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” artinya adat kebiasaan. Etika bisa saja merupakan istilah lain dari akhlak atau moral, tetapi memiliki perbedaan yang substansial karena konsep akhlak berasal dari pandangan agama terhadap tingkah laku manusia, sedangkan etika adalah pandangan tentang tingkah laku manusia dalam persfektif filsafat. Kalau ada persamaan adalah sama-sama membicarakan tabiat manusia.[8]
Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Sementara moral secara etimologis berasal dari bahasa latin “mores”, kata jamak dari “mos” yang berarti adat kebiaasaan, atau tata susila.[9] Dalam hal ini yang dimaksud adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima masyarakat, mana yang baik dan wajar. Etika, moral merupakan persamaan dari budipekerti, seperti dalam islam disebut juga dengan aqidah atau akhlaq.
Istilah etika dan ilmu akhlaq dinilai sama apabila ditinjau dari fungsinya. Apabila ditinjau dari segi pokoknya keduanya memiliki peran yang berbeda. Keduanya yang berasal dari keilmuan yang berbeda pula, etika dari Filsafat dan Akhlaq dari Quran-Hadist. Etika menitik beratkan pada perbuatan sesama manusia, dan akhlaq menitik beratkan pada perilaku manusia terhadap Tuhan dan sesama manusia.[10] Maka akhlaq bersifat teoritis dan etika bersifat antroposentris. Keduanya merupakan persamaan dari budipekerti yang mana menjadi dasar perilaku manusia terhadap penciptanya maupun terhadap sesama.
Budi pekerti dikembangkan dalam masyarakat melalui pendidikan formal maupun in formal, melalui pendidikan keluarga maupun pendidikan lingkungan. Proses pendidikan tidak sekadar melakukan transfer of knowledge, tapi juga hendaknya melakukan transfer of values. Proses pendidikan tidak sekadar memperkuat kecakapan kognitif semata, tapi juga mampu mengembangkan kepribadian dan akhlak mulia. Dengan proses pendidikan yang dapat mengembangkan seluruh potensi individu manusia, maka dihasilkan kualitas yang prima. Proses pendidikan memang seyogianya tidak sekadar mengembangkan dimensi akal. Dimensi hati, sikap, dan perilaku hendaknya diperhatikan dalam proses pendidikan. Pendidikan juga mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia. Untuk menjadi individu manusia yang unggul dan berkarakter dalam menghadapi kehidupan kini dan masa depan, pembangunan budi pekerti dalam proses pendidikan merupakan keniscayaan.
Ritual ibadah puasa yang dijalankan oleh kaum Sufi dengan menjalankan tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual dapat mewujudkan menjadi manusia berakhlak mulia, memilki budi pekerti mulia yang merupakan terget utama dari tujuan hakekat ritual ibadah puasa. Tanpa disertai tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual dalam menjalankan ibadah puasa, baik itu puasa sunah maupun puasa wajib di bulan Ramadhan, maka puasa kita hanyalah sebentuk upaya menahan diri dari yang membatalkan puasa dalam rentang waktu terbit fajar hingga terbenam matahari.

C.     Penutup
Dari pembahasan diatas ibadah puasa tahap atau proses yang harus dijalani oleh manusia mencapai pada peningkatan spiritual terhadap Tuhan sang pencipta dunia. Menjaga segala hal yang berkaitan dengan duniawi dan mendekatkan diri pada Tuhan dalam peningkatan ibadahnya merupakan godaan terberat yang harus dialami. Perngembangan budi pekerti dalam lingkungan masayarakat dan lingkungan keluarga menjadikan dasar manusia menjadi seseorang yang memiliki sifat arif dan bijaksana serta berbudi luhur. Apabila pengembangan ini tidak dilaksanakan secara maksimal maka akan merugikan diri sendiri. Berkaitan dengan ibadah puasa yang dijalani secara sufistikmemberikan dampak positif bagi diri sendiri.
Apabila kita dapat menjalankan ibadah puasa sesuai hakekatnya dan bukan hanya pada pemaknaan saja mungkin kita akan mencapai pada sikap budi pekerti yang unggul dari yang lainnya. Pendekatan secara sufistik memberikan nilai spiritual dalam jiwa manusia terhadap Tuhan dan sesama manusia. Tidak mudah bagi manusia dapat menjalani ibadah seperti ini. Hanya orang-orang tertentu yang dapat mencapai pada maqam tersebut.














IBADAH PUASA DAN PENGEMBANGAN BUDI PEKERTI
(Pendekatan Sufistik)


Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM


Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, MA

Di susun Oleh:
Awang Yulias Supardi
015.10.09.1468


PROGRAM PASCA SARJANAH S2
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURAKARTA
DAFTAR  PUSTAKA


Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012)


Syeikh Ghulam Moinuddin, Penyembuhan Cara Sufi (Yogyakarta: Bentang, 2000)

http://Metodologi-Islam_Catur-Prasetyo.htm, diakses pada 01 Desember 2015

https://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak, diakses pada 01 Desember 2015


Mahjudin, Kuliah Akhlaq Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2001)



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 220.
[2]Ibid, h. 223.
[4] Syeikh Ghulam Moinuddin, Penyembuhan Cara Sufi (Yogyakarta: Bentang, 2000), h. 148.
[5] Ibid, h. 149.
[6]http://Metodologi-Islam_Catur-Prasetyo.htm, diakses pada 01 Desember 2015.
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak, diakses pada 01 Desember 2015.

[9] Mahjudin, Kuliah Akhlaq Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 7
[10]Ibid, h. 8.